Senin, 28 Februari 2011

DI PENGHUJUNG PENANTIAN IBU

Hari itu…
“allahuakbar.. allahuakbar.. allahuakbar..” gema takbir terdengar di sela-sela dengungan mesin mobil yang berlalu lalang. Saat itu pula bulan baru berganti menjadi  syawal, dan sang mentari masih malu-malu  menampakkan dirinya.  Dua buah mobil mewah berhenti di pekarangan rumah yang cukup tua, di rumah yang sepertinya sudah tak berpenghuni lagi. Dari salah satu mobil itu turun seorang lelaki muda yang terlihat gagah, dan dari mobil lain keluar seorang perempuan muda yang tampak cantik. Sepi, sunyi, dan penuh kesedihan, itulah suasana yang merasuki hati lelaki muda itu  saat ia mengetuk dan mulai masuk ke dalam rumah tua itu. Perlahan tapi pasti lelaki itu berjalan menuju meja yang berada di sudut ruangan itu dengan perempuan muda yang mengikuti langkahnya dari belakang. Sesaat sebelumnya dia mengamati dan memperhatikan ruangan yang sudah berdebu dan kumuh itu, dan tiba-tiba matanya terhenti pada sepucuk surat yang tergeleteak di atas meja kecil. Dengan kecemasan dan keraguan yang jelas tergambar dari wajah dan tingkah laku yang di tunjukkan oleh lelaki itu, dia mulai membuka surat itu, lalu membacanya.
Assalamualaikum wr.wb.
Untuk abang dan ade, anak ibu yang sangat ibu rindukan, sangat ibu tunggu-tunggu kedatangannya, dan sangat ibu sayangi. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, kini anak-anak ibu sudah tumbuh besar. Tapi ibu masih suka mengingat masa kecil kalian, saat kalian masih senang bermain, bermain dokter-dokteran. Sampai-sampai corong air ibu di pakai juga buat main kalian,  ibu jadi tambah rindu kalian kalau ingat saat-saat itu. Ibu juga ingat saat ibu, abang, dan ade sedang bermain bersama di padang rumput nan hijau. Berlarian, bercanda, tertawa riang, Sungguh, hati ibu sangat senang nak, dan pada saat ade terjatuh di padang rumput itu, dan ade menangis karena kesakitan dengan luka di kaki ade, ibu lah yang ngobatin ade. Meski kita tidak bisa ke dokter karena jauh dari tempat tinggal tapi ibu selalu siap menjadi dokter bagi abang dan ade kala sedang sakit. Ibu ikhlas mengobati kalian, ibu tak pernah meminta balasan dari kalian. Ade pernah membuat hati ibu terenyuh dangan kata-kata ade. “ ibu..ibu.. ade mau belajar yang rajin agar bisa menjadi dokter. Nanti kalau ibu sakit, biar ade yang ngobatin. Boleeh yaa bu..”. Aduuh ibu sangat senang mendengarnya, tapi ibu juga kasian pada ade dan abang karena ibu sudah mendesak kalian untuk belajar dengan keras. Itu ibu lakukan karena ibu takut, ibu sangat takut nasib kalian seperti ibu  yang serba kekurangan ini. Ibu minta maaf yaa nak telah memaksa kalian. Ibu sungguh-sungguh minta maaf pada kalian. Ibu juga terkadang tak tega saat melihat ade yang rajin belajar sampai –sampai tak kenal waktu demi meraih cita-cita ade. Begitu pula dengan abang yang selalu mengeluh dan berputus asa dengan hasil lukisannya sendiri. Abang selalu menghina  lukisan abang. Abang selalu berkata kalau lukisan abang itu sangat jelek, tapi ibu selalu berusaha untuk menghibur abang dengan selalu berkata kalau lukisan abang adalah lukisan terindah yang pernah ibu lihat. Sehingga abang bertekad untuk menjadi fotografer, dan abang  berkata, “ kalau abang sudah jadi fotografer sukses, abang akan selalu memotret keluarga kita, dan akan menggantikan lukisan keluarga kita ini”. Ibu selalu berfikir, akankah mimpi kalian dapat terwujud? Akankah kalian menjadi orang yang sukses, seperti yang kalian inginkan? Ibu hanya bisa berdoa untuk kalian nak. tapi… tak terasa waktu berjalan begitu cepat, ibu sungguh tak menyangka kalau kalian akan menjadi orang yang sukses. Yaa.. kini kalian sudah menjadi orang yang sukses. Abang kini sudah menjadi fotografer  hebat, sampai-sampai abang menjadi sibuk. Padahal ibu selalu menantikkan abang pulang untuk memotret keluarga kita di rumah, tapi nyatanya hanya ada lukisan abang  yang terpajang di dinding kamar ibu. Begitu juga dengan ade, ade pun tak pernah pulang, padahal ibu saaaaangat rindu dengan kalian berdua. Karena rindu, ibu selalu mencoba untuk hubungi kalian, tapi semua anak ibu sedang sibuk. Ibu sangat sedih kala itu, tapi ibu selalu coba untuk mengerti. Ibu pun sering di katain orang sperti orang tak waras. Karena setiap waktu kerjaan ibu hanya menunggu di balik jendela untuk menunggu kedatangan kalian berdua. Abang, ade, taukah kalian? ibu sering sekali mendengar kalau telepon rumah bordering, tapi ternyata itu hanya imajinasi ibu saja. Mungkin ibu terlalu ridu dengan kalian. abang, ade. Ibu kesepian, ibu ingin berjumpa dengan kalian, atau tidak ibu hanya ingin berbincang-bincang dengan kalian meski hanya lewat telepon. Tapi hingga kini rindu ibu pun tak kunjung terbalas., hingga pada akhirnya ibu terserang penyakit dan itu cukup parah, dan ibu pun semakin tua. Hari-hari ibu hanya di temani oleh pohon yang bergoyang-goyang, dan rasa rindu yang terus menyerang. Akhirnya ibu putuskan untuk menghubungi abang di kota, tapi abang masih tetap sibuk dengan pekerjaannya. Ibu hanya bisa pasrah, kini anak-anak ibu sudah lupa dengan janjinya dulu. Sampai suatu saat, sakit ibu makin parah, Ibu sudah tidak tahan lagi untuk menahannya. Dan yang ibu ingat saat ibu sakit  adalah ade yang sudah berhasil menjadi dokter, tapi saat ibu hubungi ade…  taka da balasan dari ade, ibu hanya pasrah, menahan rasa kecewa ibu. Ternyata ade lebih memperdulikan pasian dari pada ibu. Asstagfirullahaladzim…. Tetes air mata selalu menghiasi setiap sujud ibu. Ibu selalu berdoa agar allah memberikan kesempatan kepada ibu untuk bisa meliahat anak-anak ibu untuk yang terakhiir kalinya. Tapi ibu benar-benar tak sanggup lagi untuk menunggu kedatangan kalian, dan pada akhirnya ibu putuskan untuk menuis surat ini. Abang, ade. Ibu minta maaf, mungkin lebaran tahun ini ibu tidak bisa menemani kalian berdua. Mungkin saat kalian datang mengunjungi ibu, dan membaca surat ini kalian sudah tidak akan menemukan ibu lagi. Sekali lagi, ibu sangat minta maaf. Dan boleh kalian ingat dalam benak kalian, ibu sayang sekali dengan kalian, dan ibu akan menunggu kalian di surga abadi, kelak.
Wassalamualaikum wr. Wb.
Salam rindu penuh kasih sayanng
                                                                                                                       Ibu                                                                                                                

Diam seribu bahasa, itu lah yang  di lakukan oleh lelaki itu. Sedangkan perempuan yang di belakangnya sudah menangis hingga tersungkur ke lantai, tak kuasa menahan kesedihan dan rasa penyesalan yang menusuk hatinya. Tapi kini mereka tidak bisa melakukan apa pun untuk sang ibu , mereka tidak bisa memaksa waktu untuk mengulang kembali masa di mana ibunya masih hidup. Satu-satunya cara adalah dengan memohon ampun kepada allah dan selalu mengirimkan doa, doa anak salih. “roobighfirlii waliwaa lidayya warhamhuma kama robbayanii soghiiroo…” ya allah ampunkanlah kesalah ku dan kesalahan kedua orang tua ku, dan sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil. Amiin..

Sabtu, 12 Februari 2011

Adik, Jaga Hati Ku Baik-Baik !


9 oktober 2010. Ranisya Salsabila genap usia ku menjadi 12 tahun dan di hari yang sama  genap juga usia Azelia adikku menjadi 6 tahun. Belum ada tanda-tanda kedewasaan dari dalam diriku, karena sifat ku yang masih sangat kekanak-kanakkan, bisa di bilang belum pantas di bilang anak berusia 12 tahun, lebih pantas di bilang anak taman kanak-kanak. Ya, memang aku sudah menjadi kakak dari seorang adik tapi umi ku selalu berkata bahwa adik mu lebih pantas menjadi kakak bagi mu. Kalau sudah gitu, aku jadi badmood sama adikku.  Dia selalu saja bikin ilfil  aku. Seperti  hari itu, saat aku sedang mengrjakan sesuatu…
 “Pergi ! ngapain sih disini, ganggu aja deh !” dengan lantang aku mengusirnya dan sedikit tendangan yang membuat ia terdorong ke belakang
“Hiks..hiks.. Ajel kan mau tau itu apa ka..” tersentak ia hingga menangis.
“Udah ah sana gak usah nangis, pergi.. pergi gak!”.
­­ Aaargh.. dasar rese emang punya adik yang serba ingin tau, apa-apa ingin tau, apa-apa ingin ikutan. Maunya apa sih ? gak guna tau hidup di dunia. Belum reda amarah ku yg ia buat pada waktu itu, saat aku tengah asik-asiknya menggambar untuk tugas geografi ku dan tiba-tiba dia malah merobeknya dengan tampang tak bersalah. Huh! andaikan aku bisa memilih, lebih baik aku jadi anak tunggal aja, umi memang pernah bilang kalau ini semua qadha dari Allah. Termasuk Azelia, dia ada di dunia ini juga qadha, dia jadi adik ku juga qadha. Pada waktu itu memang aku lah yang memaksa umi untuk memiliki adik lagi, agar bisa menemani ku bermain. Tapi aku gak pernah menginginkan adik yang tak sempurna seperti dia.
“Kaka kok ja’at sih ma Ajel? Ajel salah apa emang ka?” dengan terbata-bata ia bertanya kepada ku
                “Salah banyak tau! makannya jangan deket-deket lagi, pergi sana!” malas aku menjawab pertanyaan yang gak penting. Karna tak sanggup aku mendengar celotehannya, akhirnya aku putuskan untuk pergi saja, dari pada aku melakukan hal yang tidak di inginkan.
 “Ka Acha mau kemana? Ko, Ajel di tinggal sendiri ka ? ka..ka.. tunggu”  teriak Azel. Tanpa aku hiraukan, ku terus saja melangakah menjauh darinya. Sebetulnya saat itu aku mendengar tangisan Azel, dia terus memanggil nama ku berulang-ulang kali. Tapi peduli apa aku, toh dia selalu saja membuat ku naik pitam.
“Acha ! ko adiknya gak di ajak main, malah di tinggal gitu aja? Ayo dong di ajak !” belum aku sampai kamar,umi sudah memanggil ku. Huft.. sudah ku duga umi akan berbicara seperti itu.
“Ah ngapain, males mi ! ancur kalau ada dia mah.” ujar ku yang seakan menolak panggilan umi. Tapi tanpa ku sadari umi sudah tepat berada di belakang ku, terpasang kekecewaan pada wajahnya. Ku tau itu.
 “Anak umi kok gitu sih ! sebagai kakak itu harus baik kepada adik, harus  beri contoh yang baik juga, bukannya malah bikin nangis mulu” ujar umi, menasehatiku.
“Adik? Kapan acha punya adik? Acha gak pernah punya adik !” jawab ku dengan juteknya
“Asstagfirullahaladzim RANISYA SALSABILA kamu kok gitu sih sama adik mu, gak boleh gitu nak. Itu adik mu, umi juga yang melahirkannya, kan kamu yang meminta adik pada umi !” sahut umi
“Memang , tapi acha gak mau adik seperti AZELIA. Acha mau adik yang sempurna, gak mau yang cacat! Pokoknya Azelia bukan adik ku” bentak ku tanpa melirik wajah umi ynag mulai memerah menahan tangis
“Kamu tau gak cha? saat kamu berkata begitu, umi semakin merasa bersalah cha. Mau tau kenapa? KARENA UMI LAH YANG MENGANDUNG DIA, UMI YANG MUNGKIN MENYEBABKAN AZELIA MENJADI CACAT, ITU SEMUA KARENA UMI CHA..KARENA UMI..  kamu tau  !” terdengar suara umi yang sudah bergetar,hampir nangis malah sudah menitikkan air mata.
“Cha, lihat itu ! umi menangis. Menangis karena siapa cha? Karena kamu cha. Lihat ! pandang ! sadar apa yang telah kamu perbuat cha? Sudah durhaka kamu membuat umi menitikkan air matanya” tiba-tiba batin ku berbicara, menyadarkan aku akan sesuatu hal yang sebelumnya belum terpikirkan oleh ku, aku baru sadar kalau perkataanku tadi begitu menyakitkan, perkataan yang membuat umi menangis.
“Mi.. umi kok nangis? Ada yang salah ya ?” Tanya ku serba salah
“Ngak, umi gak apa-apa kok nak. Umi  Cuma bingung menjelaskan ke achanya gimana,umi mau menjelaskan bahwa Azel itu bukan musibah bagi keluarga ini tapi sebuah kebahagiaan,anugerah, dan rezki dari allah.. Ini semua mamang cobaan dari allah, tapi jika kita sabar menjalaninya isyaallah bisa menghapuskan dosa-dosa kita dan plus pahala. Dengan hadirnya Azelia di keluarga ini, umi semakin yakin kalau allah itu memang sayang sama umi, abi, dan Ranisya.” Jelas umi yang baru saja menghapus air matanya.
“lho kok gitu sih mi ? aneh banget! Kalau memang azelia itu sebuah anugerah, kebahagiaan, dan rezeki bagi keluarga kita, kenapa acha tidak menemukan kebahagiaan itu. Acha pikir-pikir juga keluarga kita bukannya menambah kaya tapi malah menambah utang. Utang  buat biaya operasi azel, iya kan ? bagaimana mau di bilang sebuah anugerah, kalau nyatanya malah membuat susah orang saja” jelas ku panjang lebar, seolah-olah tak ingin kalah dengan pembelaan umi tadi.
“RANISYA STOP!umi gak mau dengar lagi. Huft…umi gak tau harus menjelaskan apa lagi sama kamu nak, sekarang umi hanya meminta coba sekali-kali kamu mengikuti dia bermain, mungin kamu akan menemukan sesuatu yang berbeda dari azel.” Bentak umi. Baru saja aku membuka mulut untuk menjawab perkataan umi, tapi umi malah memilih untuk pergi seakan umi sudah tau kalau aku akan menjawab pernyataan umi tadi.
                Kala itu matahari tengah bersembunyi, seakan malu akan kedatangan aku yang baru saja keluar dari dalam rumah. Saat itu entah kenapa rasanya aku sangat ingin berjalan-jalan untuk melupakan kejadian-kejadian di sekolah yang menyebalkan. Teman yang rese lah, tugas yang menumpuk lah, kena amarah guru lah, dan masih banyak lagi deh. Pokoknya siang ini aku akan mencoba menghilagkan semua rasa kesal ku untuk sejenak.
                Dari kejauhan terlihat seorang anak kecil sedang melajukan sepedanya dengan cepat, dan itu lumayan berbahaya untuk anak seumurannya. Tiba-tiba hati ku meringis, berdebar-debar tak berturan. Aku membayangkan anak kecil itu tersungkur jatuh dari sepedahnya. Aargh… ngapain berpikiran seperti itu, lagian anak kecil itu pun terlihat enjoy dengan permainannya. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah karena cuacanya yang tidak mendukung. Saat langkah ku mulai beranjak terdengar suara yang cukup besar dan disusul oleh teriakan seorang anak kecil. Dengan cepat pikiran ku langsung tertuju pada anak kecil yang tadi kulihat sedang asik megemudi sepedanya, dan ternyata dugaan ku benar. Saat aku memutar balik badan ku, aku sudah mendapati anak kecil itu sudah terjaduh ke tanah, aku juga melihat darah yang keluar dari kening dan mulutnya. “Huuaaah…umi..atit.. huuuaaah… hiks.. hiks..” terdengar dari kejauhan tangisan anak itu. Tangisan itu seperti tangisan…. AZELIA ! yaampun, semoga pendengaran ku salah. Semoga anak kecil itu buka Azelia ya allah ! kala itu aku meyakinkan diri kalau itu bukan adik kecil ku. Tapi pendengaran ku tidak salah, begitu juga dengan penglihatan ku. Saat aku mulai berjalan mendekat, tampak makin jelas wajah si anak kecil itu. Wajah yang tiba-tiba menggetarkan hati ku kala itu. Benar ! memang benar kalau itu Azelia. Shock, panic, bingung itu lah yang ku alami di saat fakta berkata bahwa adikku lah yang sedang menangis kesakitan. Kaki ku rasanya keram, tak ingin melangkah. Mulut ku juga begitu, saat aku ngin berteriak memanggil umi tiba-tiba suara ku seakan menghilang. Lalu apa yang harus ku lakukan ? berdiam saja melihat darah yang terus keluar dari kening adik ku sendiri ? cepat cha, berbuat sesuat. Cepat !  lama-lama aku memandang azel yang terluka, hati ku tiba-tiba gelisah dan rasanya sakit. Akhirnya ku putuskan untuk menghampirinya dan membawanya pulang. baru satu kaki ku melangkah , langakah ku tiba-tiba terhenti. Entah karena apa, rasanya aku tak ingin melanjutkan niat ku tadi. Mungkin saat itu setan sedang masuk ke hati ku dan membisikkan  sesuatu. Menyuruh menghentikan langkah ku, menyuruh ku untuk tak acuh pada azel, adik ku sendiri. Kala itu setan berhasil menghasutku. “ih.. ngapain nolongin anak kecil itu! Ngapain juga nolongin anak yang bisanya bikin susah keluarga. Biarin aja dia seperti itu, biar rasa tuh anak cacat !”  begitulah batin ku berkata. Akhirnya ku batalkan niat ku dan memilih untuk pergi ke warung sebentar, dan tak ingin melihat Azel yang terluka.
Sore ini tidak seperti biasanya. Jalanan komplek terasa ramai sekali, ramai oleh mobil dan motor yang berlalu-lalang, dan juga oleh sejumlah anak kecil yang tengah asik bermain. Tanpa aku sadari, di wajah ku sudah terpasang senyuman saat aku  memperhatikan satu persatu anak kecil yang sedang bermain. Semuanya perfect, cantik-cantik, dan tampan-tampan. Semuanya lucu-lucu seperti malaikat kecil. Lain halnya dengan azel. Dia sama sekali tidak lucu seperti malaikat kecil, dia lebih mirip seekor itik buruk rupa yang tak tau diri. Ya, memang faktanya begitu!. Tenggelam aku dalam lamunan, lamunan yang mengajak ku untuk  berandai-andai. “andaikan saja aku memiliki adik yang sempurna, ah tidak. Tidak perlu sempurna setidaknya normal seperti anak pada umumnya. Yang jelas tidak cacat.
“ Ade tunggu… jangan pergi ke situ! Bahaya dek.” Suara seorang gadis yang seperertinya sebaya dengan ku. BRUUK!
“Duh,maaf ya mba.. maaf saya gak sengaja” ujarnya tergesah-gesah.
“iya, gak apa-apa kok” ujar ku. Saat itu aku lihat, dia memang sedang mengejar seorang anak kecil yang barlari ke arah jalan besar, jalan yang banyak kendaraan berlalu-lalang. Bahaya ! jalan tu sangat bebahaya. Di jalan itu kendaraan melaju sangat cepat, tanpa memperdulikan jarum speedometer sudah melewati batasnya. Semoga saja gadis itu bisa mengejarnya, amin.
“ADEEE AWAS !!!” ciiit…. BRAAK!
Astagfirullah, apa itu ? benar kah yang ku lihat tadi. Anak kecil itu…terpental. Ragu aku dengan apa yang tadi ku lihat.ku putuskan untuk mendekat. INNALILLAHI ! benar yang aku lihat tadi, anak itu tertabrak dan terpental cukup jauh. Kini yang ku lihat di hadapan ku adalah seorang anak kecil yang tergeletak di aspal. Kepalanya pecah dan mengeluarkan banyak darah, badannya pun sudah berlumuran darah, terlihat lukanya sangat parah. Dan di sampingnya terlihat seorang gadis yang terbujur kaku menatap anak kecil di depannya yang juga sudah terbujur kaku ,  Sepertinya itu kaka dari anak kecil itu.
“Ade… ade.. bangun de.., ini kaka. Ya allah kenapa jadi gini!!” teriak serta tangisan dari gadis itu. Gadis it terus menangis sambil memeluk adiknya yang  sudah tak bernyawa.
“Udah lah mba jangan ditangisin terus, mending kita bawa kerumah sakit untuk di otopsi” ujar salah seorang warga yang berada di tempat kejadian.
“ Adik saya belum meninggal ! adik saya masih hidup pak. Lihat kan dia masih bergerak”  bentak gadis itu.
“Mana? Sudah tidah bergerak lagi ? dia sudah meninggal” jelas seorang warga yang juga kasian melihat gadis itu.
“Tunggu sebentar lagi pak, saya yakin adik saya belum meninggal” dengan yakin gadis itu meyakinkan kalau adiknya masih hidup.
Azel ! seketika pikiran ku langsung teringat pada adik ku, azel. Bagaiman ya kalau posisi ku sebagai gadis itu, dan Azel yang tergelatak tak bernyawa di sana ? peduli kah aku? Akan kah aku menangis tersedu-sedu seperti gadis itu? Apakah aku akan merasa kehilangan saat seseeorang menyatakan bahwa Azel sudah tak bernyawa? Deg..deg..deg.. tiba-tiba detak jantung ku tersa berdetak lebih kencang. Ada sesuatu yang membuat jantung ku berdebar kencang, kencang sekali. Sepertinya benturan keras sedang ku alami saat itu. Saking kerasnya membuat ku ingin menangis. Apakah mungkin karena kejadian yang kulihat, atau karena melihat korban tabrak adalah seorang anak kecil? Atau karena sesuatu yang lainnya ? antah lah, mungkin juga karena melihat adegan yang mengharukan itu. Seorang kakak yang menggendong adiknya dengan berlumuran darah di badannya dan sudah tak bernyawa lagi. Yaampun.. baru  pertama kalinya aku melihat kejadian seperti ini, selain aku menontonnya di layar kaca television.
“Apa sekarang dia masih menangis ya? Kira-kira darahnya sudah berhenti belum ya?. Sejenak. DARAH? Apa, darah ? asstagfirullah azelia.” Tak tau kenapa, tanpa ku sadari tiba-tiba kaki ku melangkah dengan cepat,cepat,cepat dan akhirnya berlari  menuju tempat azel terjatuh dari sepedahnya. Selama perjalanan aku berpikir, betapa jahatnya aku terhadap azel. Dari dia lahir sampai sekarang aku gak pernah mengakuinya sebagai adik, aku selalu mengolok-oloknya, mengatainya cacat. Dia memang agak berbeda, dia lahir dengan fisik yang tidak sempurna. Bibirnya tidak terbentuk sempurna, biasa di sebutnya bibir sumbing. Ku akui aku salah, aku selalu melihatnya dari segi kekurangannya saja. Aku selalu menganggapnya jelek, buruk rupa, dan cacat. Aku selalu melihatnya dari segi kekurangan dan fisiknya saja. Padahal sebetulnya dia memiliki banyak kelebiahan.
Siang itu matahari tanpa malu-malu menampakkan dirinya, cahayanya begitu bersinar, menyengat seperti lebah. Saat itu aku sedang memperhatikan orang yang berlalu-lalang di depan rumah ku. Saat itu juga entah mengapa aku lagi ingin mengawasi  Azel bermain. Dari kejauhan aku terus mengawasinya, aku ingin tau sesuatu perbedaan apa yang ada pada dirinya, seperti kata umi waktu itu,  ” coba sekali-kali kamu mengikuti dia bermain, mungin kamu akan menemukan sesuatu yang berbeda dari azel.” Penasaran  dengan perkataan umi, akhirnya aku  mencoba memperhatikannya.
“Heh jelek, ngapain kamu ke sini? Aku gak mau temenan sama kamu, dasar jelek!”  kata dari salah seorang anak yang sedang bersama Azel.
“Iya, kita gak mau punya temen yang bibrnya miring kaya kamu , jelek, gak cantik tau !” saut teman disebelahnya.
Ih ! siapa tuh anak, kurang ajar banget menghina Azel kaya gitu. Kaya dirinya cantik aja, lagian azel gak jelek-jelek amat deh. Huh anak siapa sih ? klo gak ada ibunya udah aku tendang tuh anak! Hmm.. sepertinya bentar lagi tangis Azel meledak. Terus ku pandangi ia dari kejauhan, menunggu reaksi dari Azel. Aku mulai menghitung, 1…2…3… terus aku menunggu dan menghitung 4…5…6… belum ada tanda-tanda dia mau menangis 7…8…
“Aku tau kalau aku jelek. Kakak sering kok bilang gitu, tapi umi bilang jelek tidaknya kita bukan manusia yang nilai tapi Allah. Jadi ajel gak peduli kalau ada yang bilang ajel tuh jelek. Muka ajel boleh di bilang jelek, tapi ajel gak akan biarin orang bilang hati ajel jelek. Umi juga bilang kalau allah gak akan melihat hambanya dengan wajahnya tapi hatinya. Jadi ajel gak peduli kalau kakak acha, sama temen-temen bilang Ajel jelek, karena ajel maunya di lihat sama allah.” Jawab ajel.
Apa? aku gak salah dengarkan ? Azel bicara seperti itu? Benar-benar di luar dugaan ku. Dugaan ku yang mengatakan kalau dia akan menangis itu salah besar. Nyatanya dia tidak menangis, malahan dia menyebutkan sesuatu yang belum pernah terpikirkan oleh ku. Dari mana dia bisa menyusun kalimat seperti itu? Berwibawa sekali, padahal kala itu umur dia baru berusia 6 tahun.  Tak ku sadari mulut ku ternyata menganga dan mata ku melotot terbelalak  sehingga menarik perhatian Azel yang sedang di maki oleh temannya. Seketika dia berlari menghampiri ku. Saat itu tingkah ku serba salah, bingung apa yang harus ku lakuakan. Pasrah lah sudah.
“Kakak ! ka acha lagi ngapain? Main yuk sama ajel” ajak Azel terengah-engah
“Hmm.. main apa? Kaka gak bisa main” jawab ku
“Kita main..lho kok ka Acha nangis? Kakak kenapa?” ujar Azel
Hah? Aku nangis? Mana? Ku usap pipi ku untuk membuktikan perkataan Azel tadi. Ya ampun ternyata benar, ada air mata yang jatuh ke pipi ku. Kenapa aku ini? kenapa?
“Ka Acha! ko diem? Ada apa kak?” panggil Azel  membangunkan ku dari lamunan sesaat. Tapi aku tetap terdiam seribu bahasa dengan mata tertutup. Hup. Tiba-tiba badan ku terasa hangat, saat ku buka mata aku sudah mendapati Azel sudah memelukku erat.
“Ajel sayaang banget sama kaka” ucapnya penuh kehangatan.
BRAAAK!  Pintu terbuka
“Tante Ira? Ngapain di sini? Mana umi sama Azel?” Tanya ku terengah-engah
“Kamu dari mana saja? yuk cepetan ikut tante!” ujar tante tanpa menjawab pertanyaan ku. Dengan cepat tente Ira menyambar tangan ku dan membawa ku ke dalam mobil.
“Tante apa-apaan sih? Mau kemana kita?” Tanya ku bingung
“Kita kerumah sakit! Adik mu masuk rumah sakit.” Jelasnya
“apa, Azel masuk rumah sakit? kenapa dia? tadi pagi sepertinya sehat-sehat saja”  tanya ku seakan-akan tak percaya.
“Tante juga gak tau, tadi umi mu nelfon suruh ngajak kamu ke rumah sakit” jawab tante ira yang juga kebingungan.
Sungguh tak tenang aku duduk di mobil. Baru kali ini aku merasa tidak tenang karena Azel, seorang adik yang belum pernah ku panggil adik. Sesampainya di sana, aku langsung berlari bersama tante ku, tak peduli dengan tulisan yang tertempel di dinding bertulisan “DI LARANG BERLARIAN DI LORONG RUMAH SAKIT”. Aah.. masa bodo, yang jelas aku ingin cepat-cepat mendengar penjelasan umi.
“Mba Salima ! gimana keadaan azel?” teriak tante ketika mendapati umi sedang duduk, dan kelihatannya sedang menangis. Seketika umi langsung memeluk tubuh tante yang masih terengah-engah. Tante Ira langsung membawa umi menjauh dari ku, seakan tante sudah tau kalau umi ingin menjelaskan sesuatu tentang Azel.
“Kamu tunggu di sini aja ya! Jangan kemana-mana!” ujar tante dan langsung meninggalkan aku. Saat itu aku hanya terdiam untuk berfikir. Apa karena aku dia jadi masuk rumah sakit? Apa karena tadi aku biarkan dia yang sedang menangis kesakitan? Ya Allah selamatkan adik ku.
“Mi, Azel kenapa? Kok sampe masuk ruang ICU?” Tanya ku paksa
“Dia baik-baik saja kok, tidak parah” jawab umi
“BOHONG! Umi pasti bohong kan. Acha tau tadi dia berdarah keningnya karena jatuh. Tapi kenapa harus masuk rumah sakit?” ujar ku dengan penuh kecemasan
“Terjatuh? Kapan ? di mana?” Tanya umi beruntun
“Tadi siang di jalan, acha liat kejadiannya” jelas ku
“ Asstagfirullah jadi awalnya seperti itu. Kenapa gak kamu tolingin cha? Padahal kamu tau kalau itu Azel kan? Sebenci itukah Acha denagn Azel, sampai-sampai adik mu sendiri tidak kau tolong?” ujar umi yang membuat ku bingung.
“Soalnya Acha malu, tadi banyak temen-temen Acha di sana.” Jawab ku
 “MALU? KAMU MALU? Apa salah Azel, apa salah adik kecil mu itu? Istigfar nak, kebencian mu itu sudah menutupi mata hati mu. Andai  kamu tau kejadian yang akan menimpa adik mu kala itu, kamu pasti akan menolongnya tanpa memikirkan rasa malu. Andaikan kamu menolongnya, adik mu gak akan masuk ruang ICU. Andai kamu buang rasa malu itu, andai kamu buang kebencian itu, umi yakin adik mu sekarag tidak berada di Ruang yang menakutkan itu.” Bentak umi dengan air mata yang bercucuran keluar.
Aku benar-benar tak mengerti maksud perkataan umi itu apa.
“Memang azel kenapa mi?” Tanya ku dengan sedikit isakkan tangis. Belum sempat umi menjawab pertanyaan ku tadi tiba-tiba…
“Maaf, ibu salima di panggil untuk keruangan dokter” panggil wanita cantik denagn menggunakan seragam putih-putih. Umi langsung mengikuti langkah perawat itu, sembunyi-sembunyi aku mengikutinya dari belakang.
“Jadi anak ibu membutuhkan mata dan hati baru. Saat ini rumah sakit sedang kehabisan stok bu, jadi kita harus menggu sukarelawan yang mau mendonorkan sepasang bola mata dan hatinya ke pada anak ibu” ujarseorang lelaki yang sepertinya dokter yang menangani azel.
Uhuk.. dada ku tiba-tiba sesak, susah bernafas. Kepala  ku berat sekali rasanya, mata ku panas, ingin nangis sepertinya. Hati ku kini penuh rasa bersalah.  Umi benar, ini semua karena ku. Andaikan rasa kebencian ku, rasa malu ku tadi tak mempengaruhi ku, mungkin Azel tidak akan masuk ruang ICU, dia gak akan butuh hati dan sepasang bolz mata baru. Dan gak perlu banyak air mata yang terbuang sia-sia. Saat aku menyaksikan insiden tabrakkan yang menimpa anak kecil itu, di tempat lain ternyata adik ku sendiri pun megalaminya, bedanya adalah anak kecil itu ada seorang kakak di sampingnya, saat malaikat menjemputnya kakaknya berada di sampingnya, memeluk untuk terakhir kalinya. Tapi Azel, kakaknya sendiri yaitu aku pun tak mengetahui akan kejadiaan itu, aku hanya mengetahui ketika dia terjatuh dari sepa da dan terluka tapi selanjutnya, aku benar-benar tak menyangka. Saat dia mencoba bangkit dan berjalan untuk pulang, tiba-tiba sebuah mobil bak yang membawa pasir berat menghantamnya seketika, tubuh kecilnya terpental cukup jauh dan tubuhnya pun menabrak mobil yang sedang terparkir didepan, kaca mobil itu pecah. Tidak! Bukan hanya kaca itu tapi kepala dan seluruh pembulu darah yang ada dikepala azel pun ikut pecah. INNALILLAHI. Akan ku cari kemana sepasang bola mata dan hati itu? Akan kah ada orang yang mau merelakkan hatinya? Yang pastinya nyawanya pun harus di relakannya. Ya Allaah tunjukkanlah kekuasaan mu, bantu aku mencari jalan keluar ya Allah. Aku tak mau sampai kau menjemput adik ku, baru aku ingin memanggilnya adik, baru aku ingin menyayanginya. Ternyata malah ingin kau ambil. Ya allah berikanlah kesempatan untuk menebus semua kesalahan ku. Biarkan aku membalas semua kebaikkannya. Tapi bagaimna caranya ya Allah? Gimana cara membalasnya kalau kau sudah mengulurkan tanganmu kepadanya?
Ah.. ada ! aku tau caranya. Terimakasih ya Allah, kau telah menunjukkannya
Kembali  air mata itu terbuang  begitu saja, tapi air mata itu tidak terbuang sia-sia karena airmata itu pertanda kebahagiaan, tanda syukur kepada allah yang  menentukkan qodha manusia. Semua bergembira, semua bersujud sukur atas  kebaikan seseorang yang mau memberikan sepasang bola matanya dan hatinya untuk si kecil azel. Kini sudah terbayang-bayang kesembuhan Azel, terbayang senyum manisnya lagi, terbayang tubuhnya yang kecil itu bergerak kembali. Semua kegembiraan terbayang sudah di depan mata. Semua sibuk menyiapkan proses operasi Azel. Semua menunggu, duduk dengan kepala di tundukkan ketika lampu ruang operasi menyala merah menandakkan operasi sedang berlangsung. Berdoa,dan terus berdoa tiada hentinya, meminta kesembuhan si kecil Azel. Air mata terus bercucuran mengiri doa sang umi yang mengharapkan kesembuhan sang buah hatinya.”yaa Rabb ku, ya tuhan ku tunjukkanlah kekuasaan mu. Jangan lah kau ambil si kecil Azel, kami semua masih membutuhkannya. Tapi jika kehendak mu berkata lain maka tabahkan lah hati hamba ya Allah”
“Ting” lampu berubah warna menandakan operasi sudah selesai. Di susul dengan searang dokter keluar dari ruangan operasi itu. Semua muka tertuju padanya, mengharapkan suatu kabar gembira yang keluar dari mulutnya. Dokter itu masih belum memberikan keterangan apapun tapi tiba-tiba senyum lebar yang seperinya pertanda kebahagiaan terpasang di wajahnya.
“Bu salima maaf kami tidak bisa memberitahu dan memberi arsip-arsip tentang si pendonor. tapi ini ada surat untuk ibu. Sepertinya dari orang baik yang memberikan hati dan sepasang bola matanya.” Ujar seseorang yang merawat Azel
“ Surat? Surat apa ini? Makasih ya sus  sebelumnya” ujar umi
Dengan perlahan umi membuka surat itu
Assalamualaikum wr. Wb
Mungkin saat ini umi dan abi sedang berbahagia atas kesembuhan Azel. Aku juga ikut berbahagia tapi mungkin sudah tak bisa tampak lagi di wajah. Sebelum umi membaca lanjutan surat ini, umi harus benar-benar percaya dengan namamya qodho. Mi, mungkin ini udah jadi qodhonya Azel bisa sembuh setelah koma sekian lama. Dan mungkin ini juga qodho ku. Dulu mata hati ku dibutakkan oleh rasa kebencian dan gengsi. Tak peduli sesakit apa hati orang yang telah aku sakiti. Mungkin orang yang tersakiti itu salah satunya umi. Aku selalu menyalahkan, membantah,membentak umi. Aku juga seringmembuat umi menitikkan air mata, tapi umi tak peduli seberapa besar luka yang ku buat di hati umi, engkau selau sabar menyayangi ku. Mi, ternya umi benar , azel adalah qodho untukku, umi dan abi. Dia adalah cobaan pembawa berkah untuk keluarga kita.tapi mungkin dulu aku tak menyadarinya, aku tak melihat itu dengan hati tapi dengan mata kenafsuan. Ingin ku yang memiliki seorang adik cantik dan sempurna tak terwujudkan dan akhirnya menjadi kebencian pada sikecil yang tak mengerti apa-apa. Umi, kini aku sudah mengerti, kini aku sudah menyadarinya. Tapi aku..aku.. terlambat. Aku terlambat untuk menyanginya, aku terlambat untuk membelai rambutnya yang hitam, aku terlambat untuk menemaninya bermain, dan aku terlambat untuk memanggilnya ADIK. Tapi mi, aku sangat ingin menjalankan kewajiban sebagai kaka yang belum sempat ku jalani. Semua cara akan ku jalani untuk melakuka kewajiban itu, tak peduli bagaimana pun caranya aku akan melakukannya. Ini lah kesempatan kedua dan terakhiruntuk ku. Mi, dalam surat ini aku berterimakasih sekaligus meminta maaf kepada umi. Mungkin saat ini aku berdosa lagi, berdosa telah membuat umi menitikkan air mata untuk kesekian kali karena aku.sepasang bola mat dan hati ini aku persembahkan untuk menjalani kewajiban ku sebagai kaka, ku serahkan itu semua untuk ADIK KU TERSAYANG,  AZEL. Umi jangan kuatir. Umi  masih bisa menyayangi ku, masih bisa melihat mata ku yang indah seperti kata umi waktu itu, umi masih bisa memeluk merasakan aroma tubuh ku. Dengan hati ku yang terpasang pada tubuh azel, dan sepasang bola mata yang menggantikkan bola mata Azel, umi bisa melakukkan itu semua. Mi. bolehkah aku meminta beberapa permintaan? Tolong jaga hati dan sepasang bola mata ku yang sekarang sudah menjadi milik adikku tercinta. Tolong jaga itu baik-baik mi. jangan sampai ada seorang pun yang berani- berani melukai hati Azel. Dan satu lagi, tolong umi rahasiakkan tentang hal ini. Misampaikan salam ku untuk adik ku Azel. Bilang padanya kalau dialah ADIK KU, adik yang aku idam-idamkan. dan bilang padanya, ku tunggu ia di surga untuk bermain bersama.
Selamat tinggal umi, aku akan selalu menyayangi mu.
Wassalam
Salam sayang dari anakmu
                                                                                                                                Ranisya

“Pluk” lagi dan lagi aku menitikkan air mata setelah aku membaca buku diary ka Acha. Meski sudah berulang kali tapi aku tak pernah bosan. Karena Azel takkan pernah lupa dengan jasa ka Acha kepadaku. Kaka, semoga kau di sana di tempatkan ditempat yang mulia sebagaimana kau menempatkan hati mu di hatiku.
SELESAI

Selasa, 08 Februari 2011

OK. Let's Begin !

Mengarang dan menulis.Sungguh itu bukan kegiatan yang aku sukai. Aku, Azka Nurina yang tak pandai dalam merangkai kata-kata, tapi di blog pertama ku ini, aku akan mencoba untuk menulis dan merangkai kata-kata meski tak ada orang yang menghargainya. Ok, let's begin. Sering kali aku merasa down saat aku ingin memulai untuk menulis dan mengarang, apa lagi saat aku melihat karya-karya teman-teman ku yang begiiiitu bagus dan pantas untuk di acungin jempol dalam hal menulis, dan akhirnya itu membuat aku malas untuk mencobanya. Ada orang yang berkata bahwa menulis itu butuh bakat, tapi bagaimana dengan aku yang merasa  tidak memiliki bakat sedikit pun untuk menulis?. Dulu memang aku memiliki persepsi begitu, persepsi bahwa aku sama sekali tidak mempunyai bakat untuk menulis dan mengarang, tapi ternyata persepsi ku itu salah teman! seseorang mengatakan, " setiap orang pasti memiliki bakat, termasuk bakat menulis. tapi tidak cukup hanya dengan bakat, harus di sertai dengan keinginan. keinginan kita untuk mengasah bakat tersebut". kira-kira begitu kata-katanya, dan orang itulah yang menyadarkan ku tentang bakat. Dan pada akhirnya aku putuskan untuk mencoba dan mengasah bakat menulis yang ada di dalam diri seorang AZKA NURINA dengan menulis dan mengarang di blog ini, yang insyaallah bisa bermanfaat bagi semua orang. amiin